Penulis : THARMIZI / NIM: 088142218*
- PENDAHULUAN
Mempelajari Al-Qur’an bagi setiap muslim merupakan salah satu aktivitas terpenting, bahkan Rasullullah saw menyatakan bahwa:
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“Sebaik baik kamu adalah siapa yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR.Bukhari)
Al-Qur’an merupakan kitab suci orang islam yang darinya memancar aneka ilmu keislaman, dari segala aspek yang kita alami dan hadapi dalam kehidupan ini, tidak hanya mengikat dalam personal dunia melainkan juga persoalan akhirat. Karena itulah kitab suci ini mendorong kita untuk melakukan pengajian pengamatan dan penelitian. Dalam konteks inilah lahirnya berbagai macam disiplin ilmu yang kita kenal saat ini.
Siapa yang mengamati aneka disiplin ilmu keislaman, baik kebahasan, keagamaan, maupun filsafat, kendati berbeda-beda dalam analisis, istilah dan pemaparannya, namun kesemuanya menjadikan teks-teks alqur’an sebagai focus pandangan dan titik tolak studinya.
Kenyataan menunjukkan bahwa semua kelompok umat Islam, apapun alirannya selalu merujuk kepada Al-Qur’an untuk memperoleh pentunjuk atau menguatkan pendapatnya. Bahkan sementara non-muslim menunjuk ayat-ayat dalam kitab suci Al-Qur’an ini untuk melegitimasi idenya.
Dalam disiplin ilmu, yang membahas Al-Qur’an disebut dengan ulumul Qur’an. Dan dalam penjelasan mengenai kandungan Al-Qur’an maka disebutlah dengan ilmu tafsir atau ‘ulumu tafsir .
Dalam pembahasan kali ini penulis mencoba membahas apa itu tafsir dan berbagai jenisnya serta mengenal corak tafsir al-Qur’an yang hingga saat ini sudah banyak ditulis oleh pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an.
- PEMBAHASAN
- Pengertian Tafsir, Takwil dan terjemah Al-Qur’an
Kata Tafsîr pada mulanya berarti penjelasan, atau penampakan makna. Ahmad Ibnu Faris (w 395 H) pakar ilmu bahasa menjelaskan dalam bukunya Al–Maqasyis fil Al-Lughoh bahwa kata-kata yang terdiri dari ketiga huruf fa sin ra mengandung makna keterbukaan dan kejelasan.[1]
Kata fassara merupakan tsulasi mazid biharf (kata dasar tiga kemudian mendapat tambahan satu huruf; yaitu tasydid atau huruf sejenis ain fi-ilnya). Penambahan ini berkonsekuensi terhadap perubahan makna yaitu taksir (banyak). Maka dengan demikian asecara harfiah tafsir dapat diartikan kepada banyak memberikan penjelasan”. Maka menafsirkan Al-Quran berarti memberikan banyak komentar terhadap ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan pengertian atau makna yang dapat dijangkau oleh seorang mufassir.[2]
Dari sini kata Fasara serupa dengan kata Safara, hanya saja yang pertama mengandung arti menampakkan makna yang dapat terjangkau oleh akal, sedangkan yang kedua safara menampakkan hal yang bersifat material dan indriawi.
kata tafsir yang terambil dari kata fasara mengandung makna kesungguhan membuka diri atau berulang ulang melakukan upaya membuka, Sehingga itu berarti kesungguhan dan berulang-ulangnya upaya untuk membuka apa yang tertutup/menjelaskan apa yang musykil/sulit dari makna sesuatu. Antara lain kosa kata.
Menurut al Kilbi dalam at–tashil disampaikan bahwa yang dimaksud dengan tafsir adalah:
التَفْسِيْرُ : شَرْحُ القُرْأنُ وَبَيَان مَعْنَاهُ وَ الإِفْصَاحُ بِمَا يَقْتَضيْح بنَصْهِ أَوْ إشَارَتِهِ أوْ نجْوَاه
“tafsir adalah menjelaskan Al-Quran, menerangkan maknannya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuannya”.[3]
Sudah bermacam-macam formulasi yang dikemukakan pada pakar tetang maksud tafsir Al-Qur’an
Salah satu defenisi yang singkat tetapi cukup mencakup adalah: Penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir itu lahir dari upaya sungguh sungguh dan berulang ulang sang penafsir untuk beristinbath/menarik dan menemukan makna-makna pada teks ayat-ayat Al-Qur’an serta menjelaskan apa yang musykil/samar dari ayat –ayat tersebut sesuai kemampuan dan kecendrungan sang penafsir.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari defenisi diatas menurut Quraish Shihab [4]
Pertama: sang penafsir harus bersungguh dan berulang-ulang berupaya untuk menemukan makna yang benar dan dapat dipertanggung- jawabkannya. Penafsiran bukanlah pekerjaan sampingan. Penafsiran Al-Qur’an tidak boleh dilakukan tanpa dasar/sekadar kira-kira, karena yang ditafsirkan adalah firman Allah dan karena ia dapat berdampak besar dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi manusia.
Kedua. Sang penafsir tidak hanya bertugas menjelaskan makna yang dipahaminya, tetapi dia juga hendaknya berusaha menyelesaikan kemusyrikan/kesamaran makna lafazh atau kandungan kalimat ayat. namun penyelesaiannya jangan dipaksakan, biarlah ia dalam kesamarannya untuk yang bersangkutan, bahkan bisa jadi sepanjang generasinya, suatu ketika, Insya-Allah akan terungkap sebagaimana yang terbukti dewasa ini dari banyak masalah yang belum terungkap di masa lalu.
Ketiga. Karena tafsir adalah hasil upaya manusia sesuai dengan kemapuan dan kecendrungannya maka tidak dapat dihindari adanya peringkat hasil karya penafsiran, baik dari segi kedalaman uraian atau kedangkalannya, keluasan atau kesempitannya, maupun corak penafsiran seperti misalnya corak hukum atau filosofis atau kebahasaan atau sains dan sebagainya.
Sedangkan Kata Takwil (تأويل) diambil dari kata (اول) aul/kembali dan ma’âl yakni kesudahan. Men-ta’wi’lkan sesuatu berarti menjadikannya berbeda dari semua, dengan kata lain takwil adalah mengemballikan makna kata/kalimat kearah yang bukan arah makna harfiahnya yang dikenal secara umum.[5]
Takwil menurut Husain Adz Dzhabi dalam kitabnya at tafsir wal mufassirun mengatakan takwil menurut ulama mutaakhiriin adalah memalingkan makna suatu lafal dari yang tarjih kepada yang marju, karena ada dalil yang menunjukkan perlunya makna itu dipalingkan[6]
Bila dideteksi proses pentakwilan, maka ia terjadi dalam dua tahap:
Pertama: Pengembalian kata atau kalimat kedalam benak untuk mengetahui maknanya yang populer, lalu terjadi pengembalian Kedua, yaitu makna yang telah tergambar dalam benak itu dikembalikan lagi ke makna lain. Sehingga lahir makna kedua yang bersumber dari makna pertama.
Dari sini takwil dipahami juga sebagai “mengungkap makna yang tersembunyi”.
Sebuah contoh bisa penulis diskripsikan disini seperti sebuah kalimat “dia duduk dikursi yang basah” ketika anda mendengar kalimat terebut maka dalam benak anda akan tergambar pemahaman bahwasanya ada seseorang dalam keadaan tertentu yang duduk ditempat yang terkena air, akan tetapi ketika anda memamahi kalimat tersebut kembali maka timbul pemahaman makna kalimat yang lebih jauh lagi, yaitu memaknainya sebagai suatu kondisi yang berada dalam satu jabatan yang menyenangkan, ada yang memahami dalam arti awal bahwa si pengucap sebenarnya sudah bermaksud dari kata-katanya tersebut dengan pemahaman berada dalam suatu jabatan yang menyenangkan, akan tetapi karena terlintas dibenak anda pertama kali bahwa berada ditempat duduk yang terkena air maka dengan mentakwilkannya telah mengembalikan makna lafazh susunan kata yang pertama kali terlintas dalam benak anda itu kemakna yag dimaksud oleh pembicara, yaitu berada dalam suatu jabatan yang menyenangkan.
Takwil sebenarnya telah dikenal oleh sementara sahabat nabi SAW karena memang bahasa arab sejak dahulu kala tidak jarang menggunakannya, tetapi penggunaannya terhadap ayat-ayat Al-Quran secara berlebihan menjadikan takwil tidak berkenan dihati dan pikiran sebagian ulama, khususnya mereka yang hidup sebelum abad ke 3 H. Atau kelompok yang berusaha melakukan pemurnian agama dari segala yang baru.[7]
Sedangkan Terjemah Al-Quran adalah pemindahan dari suatu bahasa kedalam bahasa yang lain atau menjelaskan makna suatu ungkapan yang terdapat dalam suatu bangsa dengan menggunakan bahasa lain.[8]
Para ulama membagi terjemahan itu kepada dua macam yaitu sebagai berikut.
Satu, terjemah harfiah yaitu memindahkan suatu ungkapan dari sautu bahasa kebahasa lain dimana dalam pemindahan itu tetap terjaga dan terpelihara susunan, tertib dan semua makna bahasa yang diterjemahkan. Terjemahan harfiah ini bisa dikategorikan kedapa dua bentuk yaitu kandungan terjemahan persis sama dengan kandungan ungkapan yang diterjemahkan dan kandungan terjemahan tidak persis sama dengan kandungan bahasa yang diterjemahkan, dan untuk bentuk pertama tidak mungkin dilakukan terhadap al-Quran yang merupakan mukjizat dan memiliki makna yang tidak bisa diwakilkan oleh semua bahasa yang ada.
Dan Kedua terjemah tafsiriah yaitu menjelaskan suatu ungkapan dan maknanya yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain tanpa menjaga atau memelihara susunan serta tata-tertib bahasa aslinya. Dan juga tidak mengungkapkan semua makna yang dimaksudkan oleh bahasa aslinya.
Jadi jika kita melihat dari tiga defenisi dan penjelasan dari tafsir, takwil dan terjemah diatas sudah jelas tentunya perbedaan satu sama lain yang akhirnya perlu kita pahami dan kita dalami agar tidak ada kesalahpahaman dan tumpang tindih dalam pemakaian kata maupun kalimat dalam mempelajari dan memahami Al-Quran tersebut.
- Perbedaan tafsir dan takwil.
Ada ulama yang mempersamakan antara tafsir dan takwil ada juga yang membedakannya dengan menyatakan tafsir berkaitan dengan lafazh/kosakata sedang takwil berkaitan dengan kalimat susunan kata, ada lagi yang menyatakan bahwa tafsir berkaitan dengan riwayat sedang takwil berkaitan dengan dirayat yakni pengetahuan nalar dan analisis. Tafsir adalah mendengar dan mengikuti sedangkan takwil adalah ber-Istinbath yakni menggunakan nalar untuk mencapai kesimpulan.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa ada aspek yang membuat sama pemahaman antara tafsir dan takwil dan ada pula aspek yang membedakannya. Aspek yang menyamakannya adalah makna harfiah dan tujuan keduanya dilaksanakan. Yaitu sama-sama mencari maksud yang terkandung dalam ayat Al-Quran. Dan aspek pembedanya adalah cara atau materi penjelasan itu.
Tafsir menjelaskan makna ayat berdasarkan makna lafal secara dzahir atau berdasarkan sunnah nabi. Sedangkan takwil melampaui semua itu. Yaitu keluar dari makna dzahir ayat seperti yang penulis terangkan sebelumnya dengan contoh yaitu mengungkap makna yang tersembunyi. Karena ada dalil yang menunjukkan tidak memungkinkanya suatu lafal dimaknai secara dzahir saja atau tidak ada penjelasan nabi mengenai makna ayat tersebut. Selain itu , takwil juga merupakan usaha seseorang mufasir dalam menetunkan makna ganda yang dikandung oleh suatu lafal. Karena dimasa sahabat rasulullah hidup mereka pasti mendapatkan keterangan yang jelas dari rasulullah lansung tentang ayat tertentu yang ketika itu mereka butuh penjelasan namun ketika rasulullah meninggal maka timbul persoalan baru yang sebelumnya belum ada dapat penjelasan yang konkrit dari Rasulullah saw. Yang akhirnya memerlukan penjelasan melalui tafsir dan takwil.
Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di pihak lain adalah bahwa berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an dan mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang aslinya bahasa Arab ke bahasa non Arab.
Para mufassirin telah berselisih tentang makna tafsir dan takwil:
- Menurut Abu Ubaidah: “Tafsir dan takwil satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh para ulama yaitu diantaranya Abu Bakar Ibnu Habib an-Naisabury
- Menurut Al-Raghif Al-Ashfahani: “Tafsir itu lebih umum dan lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal, sedangkan takwil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.
- Menurut setengah ulama : “Tafsir menerangkan makna lafazh yang tidak menerima selain dari satu arti. Sedangkan takwil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna, karena ada dalil-dalil yang menghendakinya.[9]
- Menurut Manna al Quthan bahwa tafsir yaitu menerangkan dan menjelaskan kata kata. Wujudnya itu berada dalam perasaan, yang diucapkan itu hanya merupakan dalil dari apa yang dimaksud adapun takwil yaitu jiwa hal yang berada diluar. Bila dikatakan terbit matahari, manurut takwil, marteri matahari itu sudah muncul.[10]
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan tafsir dan takwil yaitu:
- Tafsir itu lebih umum dari takwil karena dipakai dalam kitab Allah dan lainnya, sedangkan takwil itu lebih banyak digunakan dalam kitab Allah.
- Tafsir pada umumnya digunakan pada lafazh dan mufradat (kosakata), sedangkan takwil pda umumnya digunakan untuk menunjukan makna dan kalimat.
- Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat (ar-rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalilyang menunjukan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat.
- Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, dan takwil berdasarkan dirayah.[11]
- Bentuk dan Metode Tafsir
Sebelum masuk kepada pembagiannya selayaknya kita mengenal pengertian dari metode itu sendiri agar tidak ada kesalahpahaman dalam pemakaian kata dalam pengambilan istinbat dan ilmu yang di dalami, karena dalam berbagai bacaan yang penulis baca ada yang memakai pemakaian kata metode, kaidah, langkah-langkah, cara-cara dsb. Dalam semua itu sangat berbeda dalam pengertiannya.
Sedangkan metode disini dimaksud adalah metode tafsir yaitu suatu cara melakukan penafsiran atau cara menjelaskan, menyingkapkan atau menerangkan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai segi baik segi makna lafaz secara tunggal atau jamak, mufrad atau murakobah, nuzul, hukum dan hikmah, i’tiba yang dapat diambil dari ayat dan lain-lainnya. [12]
Ataupun dia suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah SWT didalam ayat-ayat al-Quran yang diturunkannya kepada nabi Muhammad SAW.[13]
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, metode penafsiran yang digunakan oleh para mufassir dapat dikelompokkan kepada 3 macam, yaitu tafsir berdasarkan sumber yang digunakan (bentuknya), tafsir berdasarkan kepada keluasan penjelasan yang diberikan kepada ayat dan sistematika penentuan ayat yang akan ditafsirkan (metode tafsir) dan tafsir berdasarkan kepada kecendrungan dan madzhab mufassir (corak-coraknya) . Adapun penjabarannya sebagaimana berikut.
- Tafsir dari segi sumber penafsiran
Dari segi sumber penafsiran, tafsir terbagi menjadi 3 macam , yaitu
Tafsir bil matsur ialah tafsir al-Quran yang didasarkan kepada nash atau dalil yang sahih yang dinukilkan dengan shahih secara tertib, yang dimulai dari al-Quran atau sunnah karena sunnah datang sesudah al-Quran, atau dengan apa yang diriwayatkan dari para sahabat karena mereka adalah orang yang paling tau dengan kitab Allah atau dengan pendapat tabiim sebab mereka umumnya menerima dari para sahabat arainya penafsiran yang sudah terdapat dalam Al-Quran sendiri atau dalam hadis rasullulah atau dalam kata-kata sahabat sebagai penjelasan bagi apa yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam firmannya[14]
Tafsir bil matsur ialah tafsir Al-Quran yang didasarkan kepada nash atau dalil dalil yagn shahih yang dinukilkan dengan shaih secara tertib yang dimulai dari Al-Quran atau sunnah, dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat. Tafsir ini mencakup pada:
- Penafsiran ayat dengan ayat
Contoh:
Surat al-Baqarah ayat 37
#¤)n=tGsù ãPy#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§qG9$# ãLìÏm§9$#
- kemudian Adam menerima beberapa kalimat[15] dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dan ayat yang menjelaskan lafadz dari “kalimaatin” itu sebagian ahli tafsir mengatakan terdapat pada surat al a’raf ayat 23:
w$s% $uZ/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ÎÅ£»yø9$# ÇËÌÈ
- keduanya berkata: “Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.
- Penafsiran ayat dengan hadis
Yang dimaksud adalah menafsirkan alaquran dengan hadis nabi. Nabi menafsirkan kata al-madgduubi dan al-dhollin masing masing dengan orang yahudi dan orang orang nasrani dalam firmannya dalam surat alfatihah.
xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
Surat al-anam ayat 82
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk
Rasulullah menafsirkan bahwa kata zhulum /penganiayaan disini adalah kemusyrikan. Sejalan dengan firman Allah .
…..إن الشرك لظلم عظيم
Sesunguhnya syirik/persekutuan terhadap Allah SWT adalah kezhaliman besar (Luqman ayat 13)
Penafsiran Al-Quran dengan hadis teramat banyak jumlahnya untuk disebutkan satu – persatu dan dapat dilacak melalui kitab-kitab hadis yang jumlahnya sangat banyak .
- Penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat
Contohnya adalah pemahaman sahabat Nabi Sayyidina Umar atau Ibn Abbas Ra tentang makna surah An-nashr bahwa surat itu adalah isyarat tentang telah mendekatnya ajal nabi Muhammad saw.[16]
Oleh sebagian ulama digolongkan kedalam kelompok tafsir riwayah alhakim misalnya dalam bukunya al mustadrak mengatakan bahwa tafsir sahabat yang menyaksikan proses turunnya wahyu Al-Quran layak diposisikan sebagai hadis marfu’ maksudnya disetarakan dengan hadis nabi, namun demikian ada pula ulama yang membatasi bahwa tafsir sahabat itu biasa digolongkan kedalam kelompok tafsir riwayah manakala yang diambil dari mereka adalah hal-hal yang berkenaan dengan ilmu sima’i semisal; sabab nuzul dan kisah yang tidak ada kaitannya dengan lapangan ijtihad. Sedangkan hal- hal yang mereka peroleh dengan cara pemahaman dan ijtihad lebih tepat digolongkan kedalam deretan hadis mauquf tidak tepat kedalam hadis marfu’[17]
Dengan demikian maka penafsiran al-Quran dengan didasarkan kepada ijtihad para sahabat paling sedikit menurut sebagian ulama lebih tepat digolongkan kedalam kelompok tafsir bi al dirayah dari pada riwayah.
Tafsir ini disebut juga dengan tafsir dirayah yaitu tafsir Al-Quran yang didasarkan kepada ijtihad dan pemikiran mufassir sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah bahasa arab artinya pola pemahaman terhadapt ayat-ayat Al-Quran dilakukan melakui ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dan menggunakan seluruh kemampuan ilmu yang dimiliki guna mencapai hasil penafsiran yang memadai sesuai dengan yang dikehendaki oleh isi ayat yang bersangkutan.
Menurut manna al-Qattahn tafsir bil ra’yi yaitu metode penafsiran yang mana mufassir dalam menerangkan makna ayat hanya berlandaskan kepada pemahaman yang khusus berdasarkan pemikiran semata bukan didasarkan kepada jiwa syariat yang didasarkan kepada nash nashnya.[18]
Tafsir bil ra’yi ialah penafsiran Al-Quran yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa arab dari beberbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi–segi argumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-syair jahili serta mempertimbangkan sabab nuzul dan sarana lain yang dibutuhkan seorang mufassir[19].
Karena tafsir ini lebih menekankan kepada kekuatan bahasa dan akal pikiran mufassir maka para ahli ilmu tafsir membedakan tafsir bi ra’yi ini kedalam dua macam [20] yaitu tafsir bi ra’yi yang terpuji dan tafsir bil ra’yi yang tercela.
Yang dimaksud ra’yi adalah ijtihad. Jadi tafsir bil ra’yi adalah penafsirkan Al-Quran dengan ijtihad setelah mufassir memahami pola pola bahasa arab, kata kata arab dan makna serta menguasai maksud dan ilmu ilmu Al-Quran seperti, azab nuzul, nasih mansuh. Muhkam. Dan mutasyabih. Dan lain lain,[21]
Patut disebut bahwa tafsir bi ra’yi tidak bisa dilepas dari tafsir bil matsur sebab tafsir bil matsur merupakan pondasi sedangkan tafsri bil-ra’yi seperti bangunan, atau tafsri bil matsur merupakan pokok sedangkan tafsir bil ra’yi merupakan cabang. sebab ilmu-ilmu rasional telah menjadi produk yang popular dan barang yang terus berkembang. Dan umat manusia memerlukan penjelasan beserta uraian dan takwil dari ayat –ayat yang belum dijelaskan[22]
Tafsir yang terpuji memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Sesuai dengan tujuan al syariah
- Jauh atau terhindar dari kesalahan dan kesesatan
- Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan yang tepat dengan memmpraktikkan gaya bahasa dalam memahami nash -nash Al-Quran
- Tidak mengabaikan kaidah kaidah penafsiran yang sangat tidak penting seperti memerhatikan sabab nuzul, ilmu munasabah dan lain lain
Adapun tafsir madzmun atau yang tercela yaitu tafsir yag ciri-ciri penafsirannya sebagai berikut:
- Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai
- Tidak didasarkan kepada kaidah-kaidah keilmuan
- Menafsirkan Al-Quran dengan semata-mata mengadalkan kecendrungan hawa nafsu
- Mengabaikan aturan-aturan bahasa arab dan aturan syariah yang menyebabkan penafsirannya menjadi rusak, sesat dan menyesatkan [23]
Kata isyarah adalah sinonim dengan kata al–dalil yang berarti tanda petunjuk indikasi, isyarat signal, perintah, panggilan, nasihat dan saran. Sedangkan yang dimaksud dengan tafsir bil isyarah adalah menakwilkan Al-Quran dengan mengesampingkan (makna) lahiriyahnya karena ada isyarat indikator tersembunyi yang hanya bisa disimak oleh orang-orang yang memiliki ilmu suluk dan tasawuf. tetapi besar kemungkinan pula memadukan anatara makna isyarat yang bersifat rahasia itu dengan makna lahir sekaligus.[24]
Tafsir bil isyarah umum juga disebut dengan tafsir al-sufiyah dan tafsir batiniyah namun demikian terdapat perselisihan pendapat dikalangan ulama tafsir tentang penyamaan tafsir isyari dengan tafsir al-batini. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir isyari pada dasarnya indentik benar dengan tafsir al-batini yang keduanya lebih mengutamakan makna-makna Al-Quran yang tersirat daripada makna-makna tersurat.
Tafsir isyari juga tafsir yang makna-maknanya ditarik dari ayat –ayat Al-Quran yang tidak diperoleh dari bunyi lafazh ayat tetapi dari kesan yang ditimbulkan oleh lafazh itu dalam benak penafsirnya yang memiliki kecerahan hati dan atau pikiran tanpa membatalkan makna lafazhnya [25]
Tafsir bil isyarah dapat dibedakan ke dalam dua macam yaitu tafsir bi isyarah yang maqbul (dapat diterima) dan tafsir isyarah yang mardud (harus ditolak), ada lima syarat minimal agar tafsir isyari ini dapat diterima.
- Tidak menafikan makna lahir dari makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat Al-Quran al karim
- Mufassirnya tidak mengklaim bahwa inilah satu-satunya penafsiran yang paling benar tanpa mempertimbangkan makna tersurat
- Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang lagi lemah penakwilannya
- Tidak bertentangan dengan dalil syara’ maupun argumentasi aqli (pemikiran rasional)
- Ada pendukung dalil syar’i yang memperkuat penafsirannya[26]
Tafsir isyari ini oleh sebagian ulama juga disebut dengan tafsir batiniyah, namun sebenarnya ada letak perbedaan antara tafsir isyari dengan tafsir batini sebagaimana yang diungkapkan oleh Qurasih Shihab sebagai berikut:
Inti dari perbedaan antara tafsir isyari dan tafsir bathiniya adalah pandangan mereka terhadap lafash/kalimat ayat. Penafsir al isyary mengakui lafazh dan maknanya tetapi dia menambahkan makna baru dari isyarat yang diperolehnya sedang penafsiran batiniyah tidak lagi mengakui makna kalimat yang digunakan ayat dan menganggap bahwa makna ayatnyalah yang dimaksud oleh ayat atau menyatakan bahwa makna lahiriah lafazh itu adalah buat orang-orang awam, sedang makna batinnya untuk orang-orang khusus.[27]
Contoh seperti Imam Al-Ghazali menulis tentang isyarat yang diperolehnya dari Nabi SAW. “Malaikat tidak masuk kerumah yang ada anjing atau patung-patung (yang disembah). bahwa ini mengisyaratkan bahwa makrifat Allah tidak akan masuk kehati yang penuh dengan anjing-anjing syahwat dan telah dinodai oleh berhala-berhala alam. lebih jauh Al-Ghazali menulis bahwa saya tidak berkata bahwa yang dimaksud dengan rumah adalah hati dan anjing adalah amarah serta sifat-sifat buruk, saya tidak menyatakan demikian, tetapi yang saya katakan /maksudkan adalah bahwa itu mengingatkan tentang hati, amarah, dan sifat-sifat buruk. memang berbeda antara mengalihkan makna lafazh yang zhahir menuju ke makna yang batin, lalu menafikan yang zhahir berbeda dengan memberi peringatan tentang makna batin yang lahir dari lafazh yang zhahir tanpa mengabaikan atau dengan tetap menegaskan makan yang zhahir itu.
- Tafsir dari segi keluasan penjelasan dan sistematika penghimpunan ayat
Harus diakui metode-metode tafsir yang ada atau dikembangkan selama ini memiliki keistimewaan dan kelemahan-kelemahannya, masing –masing dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Secara umum dikenal ada empat macam metode tafsir dengan berbagai macam cara atau hidangannya yaitu:
- Tafsir tahlili (diskriprif-analitis)
Secara harfiah tahlili (التحليلي)berarti menjadi lepas atau terurai yang dimaksud dengan tafsir tahlili ialah metode penafsiran ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian –uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/urut-urutan surat–surat dan ayat- ayat Al-Quran itu sendiri dengan sedikit bayaknya melakukan analisis didalamnya .
Tafsir tahlili juga disebut sebagai suatu metode tafsir yang memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya .[28]
Metode tahlili memiliki kelemahan dan kelebihan, Kelebihannya pada Ruang lingkup yang luas; Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir. Dan Kelemahannya menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah, tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya.
Sebagai contoh surat al-baqarah ayat 219 yang membahas tentang khamer , maisir, dan makna al ‘afw dalam soal nafkah. Dan penjelasan mufassir dalam ayat ini tidak tuntas dikerenakan ada ayat-ayat lain yang berbicara tentang persoalan yang sama dan nyaris tidak disinggung yaitu surat Al-Maidah ayat 90.
- Tafsir Ijmali (tafsir global)
Secara lughawi kata al ijmali berarti ringkasan ikhtisar global dan penjumlahan. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan tafsir ijmali adalah penafsiran al quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum tanpa uraian apalagi pembahasan ang panjang dan luas juga tidak dilakukan secara rinci [29]
Pembahasan dalam tafsir ini hanya meliputi beberapa aspek dalam bahasa yang singkat seperti tafsir farid li Al–Quran al madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata, sabab nuzul dan penjelasan singkat yang sistematikannya sering diubah – ubah, maksudnya adakalanya mengedepankan mufradat kemudian sabab al–nuzul , dan al–ma’na tetapi sering pula mendahulukan al–ma’na dan sabab al–nuzul.
Metode ijmali dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an juga memiliki kelebihan dan kelemahan, di antara Kelebihannya adalah Praktis dan mudah dipahami oleh ummat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyakat. Bebas dari penafsiran pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif. dan tafsir ini Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut. Adapun Kelemahan Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, dan Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhim olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, dan lain sebagainya.
- Tafsir al- Muqaran (perbandingan)
Al tafsir al-muqaran adalah tafsir yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama atau antar ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan.
Tafsir ini juga bisa dilakukan dengan cara membandi-bandingkan aliran-aliran tafsir dan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain maupun perbandingannya itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain sebagainya.
Sebagai contoh firman Allah surat Ali Imran ayat 126
$tBur ã&s#yèy_ ª!$# wÎ) 3uô³ç0 öNä3s9 ¨ûÈõyJôÜtGÏ9ur Nä3ç/qè=è% ¾ÏmÎ/ 3 $tBur çóǨZ9$# wÎ) ô`ÏB ÏYÏã «!$# ÍÍyèø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇÊËÏÈ
- dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat diatas sedikit berbeda dengan ayat 10 dari surat al-Anfal disana dinyatakan
$tBur ã&s#yèy_ ª!$# wÎ) 3tô±ç/ ¨ûÈõyJôÜtFÏ9ur ¾ÏmÎ/ öNä3ç/qè=è% 4 $tBur çóǨZ9$# wÎ) ô`ÏB ÏYÏã «!$# 4 cÎ) ©!$# îÍtã íOÅ3ym ÇÊÉÈ
- dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam surat Ali-Imran diatas kata bihi terletak sesudah qulubukum berbeda dengan ayat al-anfal yang letaknya sebelum qulubukum. Dalam al-Anfal fashilat dibarengi denga haf taaukid (inna/sesungguhnya) sedang dalam ali-Imran huruf tersebut tidak ditemukan mengapa demikian? Sedangkan kedua ayat tersebut berbicara tentang turunnya malaikat untuk mendukung kaum muslimin.
Tafsir Al-Muqarin memiliki beberapa kelebihan diantaranya lebih bersifat objektif, kritis dan berwawasan luas. Sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada kenyataan bahwa metode tafsir ini tidak bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Quran seperti halnya pada tafsir tahlili dan ijmali [30]
- Tafsir Al Maudu’i(tematik)
Tafsir maudu’i adalah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Quran al karim yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat –ayatnya yang biasa juga disebut dengan metode tauhidi untuk kemudian melakukan penalaran terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lainnya dengan korelasi yang bersifat komprehensif.
Secara sederhana tafsir tematik ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu lalu mencari pandangan Al-Quran tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisa dan memahaminya ayat demi ayat lalu menghimpunnya dalam benak. Ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan ayat yang bersifat khusus yang muthlaq digandengkan dengan yang muqayyad dan lain-lain.[31]
Berkenaan dengan model tafsir maudhu’i M. Quraish Shihab [32] menyatakan bahwa dalam perkembangannya metode ini mengambil dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-Quran yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Bentuk penyajian kedua dari metode ini mulai berkembang pada tahun enam puluhan disadari oleh para pakar bahwa menghimpun pesan-pesan al-Quran yang terdapat pada satu surat saja belum menuntaskan persoalan. Maka perlu dihimpun pesan-pesan yang terdapat dalam berbagai surat lainnya. Dan dengan penyajian kedua ini akan tergambar keputusan akhir kitab suci akan pesan yang ingin diutarakannya.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melakukan kajian tafsir tematik adalah
- Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
- Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
- Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai dengan pengetahuan tentang asbab al–nuzul-nya
- Memahami korelasi ayat –ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
- Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
- Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
- Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang am(umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat) atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemakasaan [33]
Metode tafsir ini juga mempunyai kelebihan yang terpenting adalah bahwa metode ini penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas dan sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-Muqaran yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan meode tahlili dan ijmali.[34]
- Tafsir berdasarkan kecendrungan mufassir dan madzhab
Tafsir berdasarkan kecendrungan mufassir dan mazhab akan dibahas pada point D. Sebagai Corak-corak tafsir Al-Quran
Metode penafsiran dalam skema
D. Corak –corak tafsir Al-Quran
Dilihat dari segi sisi ayat Al-Quran dan kecendrungan penafsirannya terhadap sejumlah corak penafsiran ayat-ayat Al-Quran. atau dilihat dari segi pengelompokan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan isinya. ditemukan sejumlah corak penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti tafsir falsafi , tafsir ilmi , tafsir tarbawi , tafsir akhlaqi , dan tafsir fiqh
M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju pada penjelasan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat yang dikenal dengan corak sastra budaya kemasyarakatan. [35]
Berbagai corak penafsiran dalam tulisan ini tidak diuraikan secara rinci. namun secara global agaknya tetap dipandang perlu mengenai berbagai corak penafsiran dimaksud terutama terkait dengan orientasi nya.
- Tafsir Falsafi
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi adalah penafsiran dengan ayat ayat alquaran berdasrkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat atau bersifat leiberal dan radikal. Uhammad husein alzahabi ketika mengomentari perihal tafsir falsafi antara lain menyatakan bahwa menurut peneyelidikannya banyak kedalam segi pembahasan-pembahasan filsafat bercampur dengan penafsiran ayat-ayat Al-Quran .
Diantara contohnya ia menyebutkan penafsiran filsufuf dia mengingkari kemungkinan mikraj nabi Muhammad saw. Dengan fisik disamping ruhnya, mereka hanya meyakini kemungkinan mikraj nabi Muhammad hanya dengan roh tanpa jasad.
Penafsiran secara filsafat memang relative banyak dijumpai dalam sejumlah kitab tafsir yang membahas, ayat-ayat tertentu yang melakukan pendekatan penafsiran secara keseluruhan terhadap semua ayat Al-Quran relative tidak begitu banyak .
- Tafsir ilmi
Adalah penafsiran Al-Quran yang pembahasannya lebih menggunakan pendekatan istilah-istilah ilmiah dalam mengungkapkan maksud Al-Quran dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat .
Dalam padangan pendukung tafsir ilmi, model pemikiran semacam ini memberi kesempatan yang sangat luas, bagi para mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan terbentuk dalam/dari Al-Quran. Al-Quran tidak hanya sebgai sumber-sumber ilmu keagamaan yang bersifat iktiqadiyah dan amaliyah atau akan tetapi juga meliputi semua ilmu- ilmu kedunian yang beraneka macam jenis dan bilangannya.
- Tafsir shufi
Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsir al-Qur`an al-Adzim karya al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami dan Arais al-Bayan fî Haqaiq al-Qur`an karya al-Syairazi.
- Tafsir Adabi ijtima’i
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Quran pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini adalah Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H). Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M). Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut . dan Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
- Tafsir tarbawi
Tafsir tarbawi adalah tafsir yang berorientasi kepada ayat-ayat tentang pendidikan. Dibandingkan dengan corak-corak tafsir yang lain terutama tafsir ahkam yang akan kita singgung nanti, kitab tafsir yang khusus membahas tertang tarbawi relative masih amat sedikit . diantara contoh kita tafsir tarbawi adalah. Namadzij tarbawiyah min Al-Quran alkarim buah tangan ahmad zaki tafahah.
- Tafsir akhlaqi
Yaitu penafsiran yang lebih cenderung kepada ayat-ayat tentang akhlak dan menurut pendekatan ilmu-ilmu akhlak penafsiran ayat-ayat akhlak hampir dijumpai pada berbagai kitab tafsir dalam hal ini terutama aliran tafsir bi matsur dan kitab tafsir tahlili dan tafsir al–isyari namun demikian tidak berarti tidak ada kitab tafsir yang secara khusus menggarap ayat tentang akhlak.
Kitab tafsir yang secara khusus hanya membahas ayat-ayat akhlak agaknya relative langka. Tetapi penafsiran ayat-ayat akhlak dalam kitab-kitab tafsir tahlili teramat banyak. Satu diantaranya adalah tafsir Annasafi . (4 jilid 1374 halaman) karya al imam al jalil al alamah ali al barakat Abdullah bin ahmad bin mahmud an nasafi,
- Tafsir fiqh
Tafsir fiqh yang kemudian lebih popular dengan sebutan tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam saja; adalah tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Quran .
Berlainan dengan tafsir-tafsir yang lain semisal tafsir ilmi dan tafsir falsafi yang eksistensi dan pengembangannya diperdebatkan pakar-pakar tafsir, keberadaan tafsir ahkam dapat dikatakan diterima oleh seluruh lapisan mufassirin.
Tafsir ahkam memiliki usia yag sangat tua karena lahir bersamaan dengan kelahiran tafsir Al-Quran pada umumnya teramat banyak. Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkam al-Quran karya al-Jassas (w. 370 H); dan Ahkam al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H)
Berdasarkan pengertian-pengertian pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa: “Tafsir” adalah suatu usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.
“Takwil” adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
“Terjemah” adalah memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
Bentuk penafsiran:
- Al-Ma’tsur
- Al-Ra’y
- Al –Isyari
Metode penafsiran:
- Tahlili (Analisis)
- Muqarran (Perbandingan)
- Ijmali (Global)
- Mawdhu’i (Tematik)
Corak penafsiran:
- Tafsir Falsafi
- Tafsir Ilmi
- Tafsir shufi
- Tafsir Adabi Ijtimai
- Tafsir Tarbawi
- Tafsir Akhlaqi
- Tafsir Fiqhi
Walau dalam kenyaataannya tulisan ini masih sederhana, tetapi seperti kata orang bijak: “apa yang tidak dapat diraih seluruhnya hendaklah tidak ditinggalkan seluruhnya”
Mudah-mudahan mendapatkan pencerahan dari apa yang dibahas dalam tulisan ini, dan diharapkan kritik dan saran dari rekan-rekan dan dosen pembimbing dalam mata kuliah studi al-Quran.
Jazakumullah khair katsira..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi, Muhammad Husyn, A-Tafsir Wal Al Mufassirun.J.1 (tk : tp. 1396 H / 1976 M )
Abidu, Yunus Hasan, Tafsir Al-Quran ;Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir. (Jakarta : Gaya Media Pratama: 2007)
Al-Qatthan ,Manna Khalil, Studi Ilmu- Ilmu Al-Quran (Jakarta : Litera Antar Nusa, 1994)
As-Shiddieqey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994)
____________, Ilmu-Ilmu Alquran (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989)
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, Attafsir Wal Al-Mufassirun, Jilid I
Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002)
Hasbi, Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987)
- Yusuf, Kadar, Study Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010)
______________, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2012) edisi II,
Nailulrahmi, Ilmu Tafsir,( Padang, IAIN IB Press, 2010)
Quthan, Mannaul, Pembahasan Ilmu Al-Quran II, (Jakarta: Rineka Cipta,1995) terj.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2013)
_______________, Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 2007)
_______________, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan. 2007)
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Quran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)
* Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, R4. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi al-Qur’an, dipersentasekan pada hari selasa tanggal 18 November 2014 Pukul 10.30-12.30 WIB.
[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2013) h. 09
[2] Kadar M. Yusuf , Studi Alquran, (Jakarta: Amzah,2012) edisi II, h. 121
[3] As-shiddieqey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran (Jakarta: PT. Bulang Bintang,1994) h. 178
[4] M. Quraish Shihab, op.cit h. 10
[5] M. Quraish Shihab, op.cit h. 10
[6] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Attafsir Wal Al-Mufassirun, Jilid I h.20
[7] M. Quraish shihab, op.cit h.221
[8] Kadar M. Yusuf, op.cit h. 124
[9] Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,(semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987) h. 171
[10] Mannaul Quthan, Pembahasan Ilmu Alquran II, (Jakarta: Rineka Cipta,1995) terj. h.167
[11] Kadar M. Yusuf, study Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010) h. 133
[12] Nailulrahmi, Ilmu Tafsir,( Padang, IAIN IB Press, 2010) h. 63
[13] Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Al–Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) h. 55
[14] Manna khalil alqatthan, studi ilmu ilmu alquran (Jakarta:Litera Antar Nusa, 1994) h. 482.
[15] Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebagian ahli tafsir mengartikannya dengan kata-kata untuk bertaubat.
[16] M. Quraish Shihab, op.cit h. 351
[17] Muhammad Amin Suma , Ulumul Quran (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013) h. 343
[18] Ibid. h. 302
[19] Muhammad Husyn Al Dzahabi , A-Tafsir Wal Al Mufassirun.J.1 (tk:tp.1396H / 1976 M) h.295
[20] Muhammad Amin Suma op.cit h. 351
[21] Yunus Hasan Abidu, tafsir alquran ;sejarah tafsir dan mertode para mufasir. (Jakarta: gaya media pratama:2007) h.83
[22] Ibid h. 83
[23] Muhammad Amin Suma op.cit h. 352
[24] Ibid h 370
[25] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir h. 369
[26] Muhammad Amin Suma op.cit h. 371 dan lihat juga T.M hasbi ash shiddiqi, ilmu-ilmu alquran (Jakarta: pt. bulan bintang, 1989) h 232
[27] Quraish shihab, op.cit. h.374
[28] Nailurrahmi op.cit h.77
[29] Muhammad Amin Suma, op.cit h 381
[30] Muhammad Amin Suma, op.cit h. 391
[31] Quraish Shihab op.cit h. 385
[32] M. Quraish Shihab. Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan. 2007). h. xiii
[33] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 2007). h.176 . langkah diatas dikemukakan oleh al-farmawi dari bukunya al-bidayah fi tafsir al-maudhu’iy. Dan bisa juga dilihat di M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir, h. 389, Yang sudah diberi beberapa catatan dan tambahan oleh M. Quraish Shihab sendiri. Seperti perlu mempelajari ayat demi ayat sesudah memahami korelasi antar ayat sebelum menyusunnya dalam kerangka yang sempurna.
[34] Muhammad Amin Suma, op.cit h.394
[35] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. op.cit h. 107